Tindakan makan tanah (earth-eating) atau disebut geophagy, merupakan suatu fenomena yang cukup banyak didokumentasikan. Di dunia hewan, burung beo keluar mencari jenis tanah liat tertentu dan rusa menjilat lubang di tanah, menjelajahi jarak yang cukup jauh untuk bisa menemukan lubang yang “enak” ini. Lembu akan mengunyah segumpal tanah tertentu. Di Afrika Selatan, lembu seringkali ditemukan menyendiri menjilati sarang rayap. Sarang rayap kaya akan mineral dasar, dimana rayap mengambil dan mengolahnya dari tanah liat di kedalaman beberapa kaki.
Menurut para peneliti di Afrika Selatan, naluri alami pada hewan yang mengonsumsi tanah liat dimengerti sebagai tindakan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan mineral seperti misalnya sodium dan klorida. Sodium dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan elektrolit, sedangkan ion klorida merupakan unsur utama untuk keasaman perut. Disamping itu, tanah liat juga mengandung zat besi, tembaga, magnesium, dan 65 mineral dasar lainnya yang sangat mereka butuhkan. Jadi mengonsumsi tanah bisa disamakan dengan mengonsumsi vitamin.
Perlu diperhatikan bahwa tubuh kita tidak bisa menghasilkan mineralnya sendiri, jadi tubuh mendapatkan mineral dari apa yang kita makan dan minum.
Jadi mengonsumsi tanah bisa disamakan dengan mengonsumsi vitamin. Tanah liat juga baik sebagai obat cacingan, mampu menarik dan “mengikat” parasit tertentu kemudian membuangnya bersamaan dengan tinja.
Tanah liat jenis Calcium Montmorillonite dalam sepanjang sejarah telah digunakan sebagai antibakteri yang sangat efektif untuk mengatasi disentri dan membersihkan air dari pencemaran bakteri. Tanah liat menempel dan memenuhi seluruh badan bakteri sehingga bakteri tidak bisa menerima makanan dilingkungannya dan akhirnya mati.
Dokumentasi mengonsumsi tanah liat pada manusia juga ada di berbagai wilayah. Di Kepulauan Hawai, Oahu, Kawai Nui Marsh mengandung lumpur “bergizi” yang disebut lepo ai’ia. Lumpur bergizi ini didokumentasikan di Museum Bishop, Honolulu. Bentuknya tebal dan kenyal seperti jelly, berwarna krem, serta memiliki struktur seperti pudding.
Disebutkan juga dalam cerita rakyat Hawai, sekitar tahun 1795, Raja Kamehameha ketika dalam pengepungan, memerintahkan pasukannya untuk makan lepo ai’ia (lumpur “bergizi”). Lumpur ini memberikan cukup energi untuk memenangkan peperangan.
Di Peru, suku Aymara di Pegunungan Tinggi Andes memiliki persediaan tanah liat di dapur mereka. Pegunungan Andes merupakan daerah yang banyak kentangnya dan suku Aymara berabad-abad menjadikan kentang sebagai salah satu makanan pokoknya.
Di daerah itu, kentang dengan permukaan kulit kehijauan lebih baik tidak dimakan, karena mengandung racun glycoalkaloid yang berkembang selama masa perkecambahan. Glycoalkaloid dapat menyebabkan diare, muntah, dan gangguan syaraf, bahkan cukup fatal bagi manusia. Banyak dari spesies kentang yang dimakan oleh suku Aymara mengandung kadar racun yang berbahaya, bahkan sebelum muncul warna kehijauan di kulit kentang. Suku Aymara memasak atau merendam kentang dengan air panas bersamaan dengan tanah liat untuk mengeluarkan racun kentang. Setelah larutan air-tanah liat tinggal sedikit karena dipanaskan, kentang siap untuk dimakan.
Tanah liat menempel pada glycoalkaloid, membuatnya bisa melewati tubuh tanpa meracuninya. Untuk jenis kentang di Indonesia, racun kentang bisa dihilangkan hanya dengan cara memasaknya.
Suku pribumi di Kalifornia, yaitu suku Pomo, malah memakai tanah liat sebagai salah satu bahan masakannya. Mereka mencampurkan tanah liat dengan tepung biji pohon ek untuk membuat kue yang bebas dari rasa pahit zat tannin dan mempermudah untuk dicerna. Tanah liat ini akan menempel pada molekul tannin dan kemudian menetralisirnya.
Tanah liat dalam bentuk kaolin, masih merupakan bahan yang umum di pengobatan Barat seperti misalnya untuk obat Kaopectate, Rolaids dan Maalox. Di dalam perut, partikel kecil tanah liat yang bermuatan negatif menarik zat-zat beracun di dalam perut yang bemuatan positif. Tanah liat pun menyatu dengan racun, menetralkannya dan mencegahnya merusak tubuh kita.
Terikat satu sama lain, racun dan tanah liat keluar melalui sistem ginjal dan usus. Oleh karena tanah liat bersifat alkalin, ia membantu menetralisir asam berlebih lambung. Ketika ia melewati saluran pencernaan, ia juga menyerap cairan berlebih sehingga membantu meredakan gejala diare dan melindungi dinding usus dari peradangan.
Tanah liat dalam bentuk tablet, kapsul, atau cair (dicampur dengan air), juga membantu masa awal kehamilan ketika tubuh sang ibu sedang menyelaraskan aktifitas biokemikal dirinya dengan janin. Tanah liat membantu mengurangi rasa mual di saat hamil.
Seiring masa kehamilan makin matang, janin memerlukan nutrisi yang sangat banyk untuk bertumbuh, apalagi kalsium. Tanpa tambahan suplemen, tubuh akan mengambil kalsium dari tulang atau gigi sang ibu. Tanah liat sangat kaya akan kalsium dalam bentuk alami dan struktur yang sempurna sehingga mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh.
Wanita hamil di kebanyakan negeri Afrika makan tanah liat untuk mengurangi rasa mual saat hamil (morning sickness). Anthropologist Boyle dan Mackey melaporkan adanya penggunaan tanah liat untuk merawat rasa mual di tahun 40 SM. Tanah Liat juga diresepkan oleh Soranus dari Efesus, yaitu seorang dokter kandungan dan dokter anak dari bangsa Romawi di tahun 100-140.
Penelitian ilmiah terhadap tanah liat jenis tertentu yang diberikan kepada para sukarelawan wanita hamil di Nigeria, menunjukkan bahwa mengonsumsi tanah liat setidaknya 500 mg (kira-kira setara dengan 2 Tylenol kapsul) per hari dapat memenuhi hampir 80% kebutuhan para wanita hamil di Nigeria akan kalsium. Kemampuan tanah liat dalam detoksifikasi juga dapat melindungi janin dari resiko cacat lahir oleh karena racun tanaman yang sang ibu tak sengaja makan.
Sains modern mengkonfirmasi bahwa mineral yang diambil langsung dari tanah lebih efektif dibandingkan suplemen mineral olahan pabrik. Di tahun 1960 ketika NASA bersiap-siap untuk menaklukkan angkasa, beberapa percobaan menunjukkan bahwa keadaan tanpa gravitasi menyebabkan hilangnya masa tulang yang sangat banyak. Untuk mengatasi hal ini, mereka mendanai beberapa perusahaan farmasi untuk mengembangkan suplemen kalsium. Tapi Benjamin Ershoff dari California Polytechnic Institute menemukan bahwa perawatan yang paling manjur adalah dengan mengonsumsi tanah liat.
Ershoff melaporkan bahwa “Kalsium pada tanah liat… diserap lebih efisien dan ia mengandung beberapa faktor selain kalsium dimana faktor-faktor tersebut meningkatkan penggunaan kalsium serta pembentukan tulang.” Ia menambahkan, “Sedikit atau bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali jika kita hanya menambahkan kalsium saja pada makanan keseharian kita.”